Waty (kiri) dan Lana (kanan), mencari penghidupan yang terhormat. Foto : Kamaruddin Azis
Kaum waria, atau “kawe-kawe” dalam bahasa Makassarnya, adalah termasuk salah satu kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat umum. Pengucilan yang secara alami dijalankan masyarakat setempat ternyata bisa memerosokkan mereka ke dunia yang lebih gelap lagi. Saya membagi kisah dua orang waria yang tetap menjaga kehormatan mereka dengan mencari nafkah secara terhormat. Simak kisahnya berikut ini
KM Kambuna, jelang Ramadan, 1998. Kapal yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Makassar telah tiba di Pelabuhan Soekarno Hatta, pelabuhan kapal terbesar di ibukota Sulawesi Selatan itu. Saat saya menuruni tangga kapal tua yang sedang penuh sesak itu, saya dikejutkan oleh sapaan seorang kawe-kawe, istilah lokal Makassar untuk waria. Berdialek Makassar, dengan nada bicara yang sepertinya akrab di telinga saya.
”Oe, battu kemaeko?” sapanya, menanyakan saya dan seorang kawan yang juga ikut kaget, datang dari mana.
”Oe, battu-a ri Jakarta,” kata saya masih dalam perasaan terkejut. Maklumlah, penumpang kapal yang berangkat dari Jakarta itu, berasal dari suku yang berbeda-beda. Saya terkejut tiba-tiba disapa orang yang sebelumnya tidak saya kenal, dengan logat daerah asal saya. ”Ikau iyya?” sapa saya kembali, menanyakan hal yang sama padanya.
”Battu tonga ri Jakarta,” katanya memberitahu ia juga dari Jakarta. Cara berbicara terkesan spontan dan genit, ”…saya pulang libur dulu karena mau bulan suci.”
Sapaan singkat di kapal itu membawa perkenalan kami lebih lanjut, karena ternyata memang kami berasal dari daerah yang sama. Namun komunikasi kami sempat terputus. Hingga, beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar bahwa waria tersebut telah meninggal. Hanya sekitar dua tahun ia sempat tinggal di Jakarta sebelum ajal menjemputnya, disusul dua rekan warianya yang lain. Orang-orang yang mengenalnya mengaku tidak mengetahui secara pasti penyakit yang dideritanya, namun, menurut mereka yang sempat berinteraksi, waria tersebut sangat kurus sebelum meninggal.
Peristiwa tersebut mendorong saya untuk lebih jauh menggali soal kehidupan waria di daerah saya, Galesong. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup, mengisi waktu dan mengasah kemampuan dalam menjalani roda kehidupan.
Tak bisa dipungkiri adanya pencitraan yang cenderung negatif di tengah masyarakat setempat terkait dengan waria-waria ini. Sepertinya, banyak yang lupa bahwa mereka juga termasuk faktor penentu yang turut terkait dalam sukses-tidaknya pelaksanaan pesta sakral pernikahan warga.
Salah satu waria yang mewakili peran tersebut adalah Lana. Usianya kira-kira 30 tahun. Dia sudah bekerja sebagai asisten Haji Gajang. Tugasnya adalah memasang lammingatau pakaian pesta perkawinan, atau dipakai juga dalam pesta khitanan. Lana memiliki rekan seprofesi, namanya Wati. Saat bertemu, mereka sedang berkemas untuk berangkat ke Desa Mario, sebuah daerah yang terletak di Galesong Selatan. Rupanya, mereka dipesan untuk memasang lamming atau hiasan dinding rumah atau pelaminan untuk acara yang akan digelar pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Meski nama Wati terkesan lebih feminin, namun kalau dilihat dari penampilannya, Wati lebih maskulin lantaran ia mempertahankan bulu-bulu di dadanya.
Ladang pekerjaan utama Haji Gajang adalah merias pengantin. Haji Gajang telah mempekerjakan Lana dan Wati sejak beberapa tahun yang lalu. Secara khusus, tugas kedua waria ini selain mempersiapkan dan memasang lamming di dalam rumah, juga membawa pakaian khas Makassar, seperti baju bodo, songkok guru, lengkap dengan aksesorisnya. Haji Gajang tidak ingin merinci pendapatannya sebulan, namun ia mengaku cukup puas dan mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.
Haji Gajang mengaku usahanya sudah ia rintis sejak 20 tahun terakhir. Ia melengkapi keahliannya dengan mengikuti berbagai kursus keterampilan sejak 15 tahun terakhir. Profesi Haji Gajang sebagai penata rias sepertinya memang sudah cukup dikenal masyarakat. Ini dilihat dari beberapa foto yang terpampang di dinding ruang dalam rumahnya, di mana beberapa di antaranya adalah foto bersama bupati Takalar dan Gubernur Sulsel sekarang, yang mana pada waktu foto diambil, masih menjabat sebagai Bupati Gowa.
Usaha yang dirintisnya sesekali menemui masalah juga, aku Haji Gajang. Saat sedang melaksanakan tugas, kerap diganggu orang-orang usil. Namun, Haji Gajang menganggapnya biasa saja, dan menekankan pada para pekerjanya agar fokus saja dengan tujuan utama bekerja, yaitu memberi kepuasan kepada klien dan turut menyukseskan acara yang digelar.
Lana dan Waty merasa beruntung diterima bekerja di tempat Haji Gajang. Mereka menikmati masa-masa produktif dengan predikat waria yang tetap mereka sandang. Mereka menyadari bahwa banyak orang tergoda untuk mengganggu karena predikat tersebut, namun mereka memilih untuk tetap sabar karena profesi ini dirasakan mereka lebih terhormat dibanding pekerjaan lainnya.
”Adama’ sepuluh tahun kerja sama Haji Gajang. Saya senang karena dapat uang dengan cara halal,” kata Lana dengan lincah, dalam sebuh pertemuan di tengah pesta di daerah Bayowa, Desa Galesong Baru, Galesong Selatan, Takalar. Dalam pertemuan itu saya tanyakan soal kabar teman-teman warianya yang lain. Lana menunjukkan raut wajah yang muran dan terdiam beberapa saat.
”Eee…, kamma memang minjo kapang punna jai dudu erotta,” ungkapnya dengan gemulai. Artinya, begitulah memang kalau terlalu banyak mau. Mungkin maksudnya, begitulah resikonya jika manusia terlalu besar cita-citanya.
Beberapa tahun lalu, tepatnya sekitar tahun 90-an, beberapa waria meninggal dalam waktu yang berdekatan. Masih sedikit informasi soal kejadian ini, namun setidaknya diketahui bahwa mereka rata-rata bekerja di bidang yang rentan ketularan penyakit ganas.
Membuka ladang pekerjaan baru yang lebih ”sehat” bagi kaum waria seperti yang dilakukan Haji Gajang bisa jadi akan menyelamatkan mereka dari resiko terjangkiti penyakit seksual yang ganas. Dunia mereka tetap menyatu dengan dunia apa adanya, tidak bisa disembunyikan ataupun bersembunyi dan hanya berkutat dengan masalah-masalah kaumnya sendiri. Sosialisasi dan interaksi yang saling menguntungkan berbagai pihak memang sepatutnya dipikirkan. Di samping itu, perlu juga diupayakan agar informasi soal resiko-resiko penyakit seks juga sampai pada kaum waria yang tinggal di daerah terpencil seperti pedesaan.
”Lana, mau tongko pigi Jakarta?” tanya saya, ingin mengetahui apakah Lana masih punya cita-cita mengadu nasib di ibukota sebagaimana beberapa rekannya terdahulu.
”Teaja!” jawabnya dengan genit, yang artinya tidak mau, sambil berlalu dengan gemulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar