adsensense champ

Tampilkan postingan dengan label Kisah Dua Waria. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Dua Waria. Tampilkan semua postingan

Jumat, Desember 24, 2010

KISAH SEORANG KIAI MENCARI JODOH DI TEMPAT PELACURAN

Kiai Marwan, adalah seorang kiai dari Nganjuk. Kiai ini sudah hampir mendekati lima puluh tahun usianya, tetapi masih membujang. Keinginan untuk berkonsentrasi sebagai Kiai tanpa menghiraukan urusan dunia termasuk wanita, membuatnya menjadi bujang lapuk. Tapi soal kebutuhan penyaluran syahwat, tetap saja mengusik setiap hari. Apalagi kalau ia berfikir, siapa nanti yang meneruskan pesantrennya kalau ia tidak punya putra ?
-
Dengan segala kejengkelan pada diri sendiri dan gemuruh jiwanya, akhirnya Kiai Marwan melakukan istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah, siapa sesungguhnya wanita yang menjadi jodohnya?
-
Petunjuk yang muncul dalam istikhoroh, adalah agar Kiai Marwan mendatangi sebuah komplek pelacuran terkenal di daerahnya. “Disanalah jodoh anda nanti…” kata suara dalam istikhoroh itu.
-
Tentu saja Kiai Marwan menangis tak habis-habisnya, setengah memprotes Tuhannya. Kenapa ia harus berjodoh dengan seorang pelacur ? Bagaimana kata para santri dan masyarakat sekitar nanti, kalau Ibu Nyainya justru seorang pelacur? “Ya Allah…! Apakah tidak ada perempuan lain di dunia ini ?”
-
Dengan tubuh yang gontai, layaknya seorang yang sedang mabuk, Kiai Marwan nekad pergi ke komplek pelacuran itu. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya, dan jantungnya berdetak keras, ketika memasuki sebuah warung dari salah satu komplek itu. Dengan kecemasan luar biasa, ia memandang seluruh wajah pelacur di sana, sembari menduga-duga, siapa diantara mereka yang menjadi jodohnya.
-
Dalam keadaan tak menentu, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang cantik, berjilbab, menenteng kopor besar, memasuki warung yang sama, dan duduk di dekat Kiai Marwan. “Masya Allah, apa tidak salah perempuan cantik ini masuk ke warung ini?” kata benaknya.
-
“Mbak, maaf, Mbak. Mbak dari mana, kok datang kemari ? Apa Mbak tidak salah alamat ?” tanya Kiai Marwan pada perempuan itu. Perempuan itu hanya menundukkan mukanya. Lama-lama butiran airmatanya mulai mengembang dan menggores pipinya. Sambil menatap dengan mata kosong, perempuan itu mulai mengisahkan perjalanannya, hingga ke tempat pelacuran ini. Singkat cerita, perempuan itu minggat dari rumah orang tuanya, memang sengaja ingin menjadi pelacur, gara-gara ia dijodohkan paksa dengan pria yang tidak dicintainya.
-
“Masya Allah…. Masya Allah… Mbak.. Begini saja Mbak, Mbak ikut saya saja .…” kata Kiai Marwan, sambil mengisahkan dirinya sendiri, kenapa ia pun juga sampai ke tempat pelacuran itu. Dan tanpa mereka sadari, kedua makhluk itu akhirnya sepakat untuk berjodoh.
-
Kisah tentang kiai Marwan ini sesungguhnya merupakanrefleksi dari rahasia Allah yang hanya bisa difahami lebih terbuka dari dunia Sufi.
-
Hal ini menggambarkan bagaimana dunia jiwa, dunia moral, dunia keindahan dan kebesaran Ilahi, harus direspon tanpa harus ditimbang oleh fakta-fakta normatif sosial yang terkadang malah menjebak moral seorang hamba Allah.
-
Sebab tidak jarang, seorang Kiai, sering mempertaruhkan harga dirinya di depan pendukungnya, ketimbang mempertaruhkan harga dirinya di depan Allah. Dan begitulah cara Allah menyindir para Kiai, dengan menampilkan Kiai Marwan ini.

Selasa, Desember 14, 2010

Kisah Perjalanan Hidup Seorang Gigolo Dadakan ‘Hot’


Robi adalah seorang pemuda berperawakan kurus dan kurang berotot. Bahkan, penampilannya seperti orang kekurangan gizi.
Gigolo dadakan yang malang
Gigolo dadakan yang malang
Suatu saat ketika kantong lagi ‘bokek’ dan dia sedang membutuhkan uang. Maklum, dia pengangguran.
Tiba-tiba ia punya ide gila: menjadi gigolo. Kebetulan dia punya seorang teman lelaki yang sudah terbiasa terjun di dunia ‘pergigoloan’.
“Jon, tolong aku carikan ibu-ibu atau tante-tante yang butuh gigolo macam potongan gue ini!” katanya pada temannya yang gigolo itu.
“Wah kebetulan sekali, kemarin sih ada ibu-ibu muda minta dicarikan pemuda berperawakan ceking. Kayaknya kamu memang cocok,” jawab Joni spontan.
Maka pada hari H, dia dipertemukan oleh Joni dengan seorang ibu-ibu muda. Surprise, rupanya hari pertama jadi gigolo adalah hari keberuntungan dia.
Betapa tidak, Ibu ini benar-benar cantik, putih mulus, kelihatan feminin, namun tegas dan kaya pula. Dan yang lebih surprise lagi, ibu ini sepertinya langsung ‘naksir berat’ padanya yang ceking kurus dan kurang gizi itu.
Singkat cerita, Robi dibawa ibu muda ini pakai mobil BMW ke rumahnya yang mewah. Sesampai di rumah, Robi dipersilakan langsung masuk ke kamar tidur. Dan sebelum dia melakukan apa-apa, dia langsung berkata “Kamu lepas baju, ya!”
Sebagai gigolo amatiran, ia mulai grogi, rasa bingung dan perasan malu timbul. “Ayo buka baju, nggak usah malu-malu!” ujar perempuan itu.
Maka ia mulai melepas baju satu persatu dengan perasaan malu sambil disaksikan oleh ibu muda yang cantik itu. Setelah dia benar-benar bugil gil gil… , mata perempuan itu berbinar-binar melihat tubuhnya yang kurus ceking!!
“Kamu tunggu dulu di sini ya, jangan kemana-mana, saya mau keluar sebentar,” ujar wanita itu sambil keluar kamar.
Tak lama kemudian ibu itu masuk kembali ke kamar diikuti oleh dua anak kecil. Seraya menunjuk ke tubuh Robi dia berkata kepada kedua anak kecil itu:
“Nah, Rini dan Andi, kalian harus makan banyak ya! Kalau tidak, nanti badan kalian kurus kering seperti Oom ini …… !!!!”

Jumat, Desember 10, 2010

Perbandingan Orang Gay / Lesbian Dengan Orang Normal


Saya menemukan sebuah situs yang membahas seputar perbandingan antara orientasi seksual gay dengan straight kemarin (13/10/2010). Setelah saya membaca seluruh tulisan di situs tersebut, ada beberapa bahasan yang menarik yang untuk diangkat menjadi bahan postingan di blog ini.
Situs kencan dan jejaring sosial okcupid.com mengangkat tema “Gay Sex Vs. Straight Sex” dengan alasan bahwa mereka melihat banyak emosi di luar sana, bukan informasi, dan ingin memberikan beberapa konteks berbasis data pada seksualitas sehingga orang bisa membuat pilihan yang lebih baik tentang apa yang mereka katakan, pikirkan, dan lakukan.
Sebenarnya artikelnya panjang banget, namun di sini saya akan membahasnya hanya sebagian. Saya hanya akan memberikan sedikit uraian-uraian yang menurut saya sendiri menarik untuk meningkatkan trafik blog ini. (Oh, tidak…!!)
Sekedar untuk diketahui bahwa okcupid.com punya lebih dari 3 Juta member dan dari member itulah mereka mendapatkan data-data yang lebih relevan. Okcupid.com juga memfasilitasi kencan heteroseksual dan homoseksual. Okay, mari kita mulai tapi sebelumnya perlu saya beritahukan kalau ulasan berikut berdasarkan okcupid.com dan kasusnya berbasis di Amerika sana.
Pertama-tama, katanya seksualitas gay bukan merupakan ancaman.
Kaum Gay secara seksual tidak tertarik sama kaum straight.
Ini pastinya kabar baik buat para homophobic yang punya gagasan bahwa gay akan mencoba untuk mengajak seseorang langsung ke tempat tidur pada kesempatan pertemuan pertama serta usaha para gay untuk mengubah orang-orang straight menjadi gay.
Menurut okcupid.com, dari 4 juta penelitian terhadap responden, tidak ditemukan bukti yang mendukung sifat buruk gay tersebut.
Gay Tidak Berhubungan Sex Sembarangan
Mitos umum yang lain seputar gay adalah mereka tidur sama siapa saja tapi kenyataan statistik dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka tidak beda jauh dengan kaum straight.
Berikut adalah kurva distribusi perbandingan antara straight dengan gay yang tidak aku mengerti:
Ternyata hanya sebagian kecil dari kaum gay yang membuat citra seksualitas kaum gay terlihat buruk di mata publik. Menurut okcupid.com, hanya 2% dari 23% laporan seputar perilaku sex kaum gay yang melakukan kegilaan.
Kaum Straight juga Punya Sifat Gay Sex
Penyelidikan lain dengan hasil tak terduga adalah ketika diajukannya pertanyaan kepada 252. 900 kaum straight, “Apakah anda pernah melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang berjenis kelamin sama?”
Hampir seperempat yang menjawab “Ya”
Kurva Pria Straight
Kurva wanita Straight
Kurva kompilasi antara pria straight dan wanita straight
Dari hasil penelitian, lebih banyak wanita straight dibandingkan pria straight yang memiliki keinginan berhubungan seks sesama jenis.
Dari grafik, 13% pria straight memiliki pengalaman berhubungan seks sesama jenis dan 5% yang belum namun ingin.
Dan Bagian yang paling menarik adalah sebagai berikut:
Barang-Barang Kesukaan Kaum Gay
Ini dia barang-barang kesukaan pria gay yang ditulis dalam bentuk frasa:
Untuk pria gay, the devil wears prada berada di urutan pertama. Kalau Lady Gaga berada di urutan pertama, saya sih tidak heran tapi Kelly Clarkson berada diurutan keempat, agak diluar dugaan, harusnya Adam Lambert yang ada di situ atau bahkan diurutan pertama. Oh, tidak! Jadi pria gay banyak yang nge-fans sama Britney Spears ternyata.
Jika diperhatikan lagi frasa-frasa di atas, kehidupan pria gay sangat dekat dengan citra “glomour” yang berarti bahwa pria-pria gay itu adalah orang-orang tajir dan kemungkinan besar berpendidikan tinggi.
Koleksi Wanita Lesbian dalam frasa:
Untuk kaum lesbi, koleksinya tidak beda jauh dari koleksi kaum pria gay, masih seputar kehidupan glamour. Ok, tidak! Gaya hidup seperti ini kelihatannya “merobek-robek saku”.
Barang-Barang Kesukaan Kaum Straight
Koleksi pria Straight dalam frasa:
Ada perbedaan koleksi pria straight dengan pria gay. Koleksi pria straight punya kesan lebih dekat dengan apa yang benar-benar dibutuhkan dan penuh dengan petualangan (ada perahu di situ soalnya) serta minim hiburan.
Koleksi wanita Straight dalam frasa:
Wanita straight sepertinya tidak suka musik.
Pendapat anda? Kalau seputar “being gay” gimana?
Opini:
Saya sendiri tidak tidak setuju dengan apa yang disebut “Being Gay” dengan berberapa alasan sederhana:
- Pertama, secara religi, agama manapun tidak membenarkan adanya hubungan sesama jenis;
- Kedua, “being gay” cenderung lebih ke arah memuaskan diri sendiri yang sering kali berlindung di bawah frase “Menjadi Diri Sendiri”. Kesannya lebih memilih menyenang “hati sendiri” dari pada menyenangkan “Hati Tuhan”, padahal untuk jangka panjang lebih baik menyenangkan “Hati Tuhan” karena Ia lebih mampu mengingat;
- Ketiga, kita tahu bahwa populasi wanita di planet ini sekarang lebih banyak dari pada populasi Pria, jadi dengan menjadi Gay berarti secara tidak langsung merampas hak-hak wanita.

Kisah Dua Waria, Bertahan Di Profesi Terhormat


8agustus2008b.jpg
Waty (kiri) dan Lana (kanan), mencari penghidupan yang terhormat. Foto : Kamaruddin Azis
Kaum waria, atau “kawe-kawe” dalam bahasa Makassarnya, adalah termasuk salah satu kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat umum. Pengucilan yang secara alami dijalankan masyarakat setempat ternyata bisa memerosokkan mereka ke dunia yang lebih gelap lagi. Saya membagi kisah dua orang waria yang tetap menjaga kehormatan mereka dengan mencari nafkah secara terhormat. Simak kisahnya berikut ini
KM Kambuna, jelang Ramadan, 1998. Kapal yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Makassar telah tiba di Pelabuhan Soekarno Hatta, pelabuhan kapal terbesar di ibukota Sulawesi Selatan itu. Saat saya menuruni tangga kapal tua yang sedang penuh sesak itu, saya dikejutkan oleh sapaan seorang kawe-kawe, istilah lokal Makassar untuk waria. Berdialek Makassar, dengan nada bicara yang sepertinya akrab di telinga saya.
”Oe, battu kemaeko?” sapanya, menanyakan saya dan seorang kawan yang juga ikut kaget, datang dari mana.
”Oe, battu-a ri Jakarta,” kata saya masih dalam perasaan terkejut. Maklumlah, penumpang kapal yang berangkat dari Jakarta itu, berasal dari suku yang berbeda-beda. Saya terkejut tiba-tiba disapa orang yang sebelumnya tidak saya kenal, dengan logat daerah asal saya. ”Ikau iyya?” sapa saya kembali, menanyakan hal yang sama padanya.
”Battu tonga ri Jakarta,” katanya memberitahu ia juga dari Jakarta. Cara berbicara terkesan spontan dan genit, ”…saya pulang libur dulu karena mau bulan suci.”
Sapaan singkat di kapal itu membawa perkenalan kami lebih lanjut, karena ternyata memang kami berasal dari daerah yang sama. Namun komunikasi kami sempat terputus. Hingga, beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar bahwa waria tersebut telah meninggal. Hanya sekitar dua tahun ia sempat tinggal di Jakarta sebelum ajal menjemputnya, disusul dua rekan warianya yang lain. Orang-orang yang mengenalnya mengaku tidak mengetahui secara pasti penyakit yang dideritanya, namun, menurut mereka yang sempat berinteraksi, waria tersebut sangat kurus sebelum meninggal.
Peristiwa tersebut mendorong saya untuk lebih jauh menggali soal kehidupan waria di daerah saya, Galesong. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup, mengisi waktu dan mengasah kemampuan dalam menjalani roda kehidupan.
Tak bisa dipungkiri adanya pencitraan yang cenderung negatif di tengah masyarakat setempat terkait dengan waria-waria ini. Sepertinya, banyak yang lupa bahwa mereka juga termasuk faktor penentu yang turut terkait dalam sukses-tidaknya pelaksanaan pesta sakral pernikahan warga.
Salah satu waria yang mewakili peran tersebut adalah Lana. Usianya kira-kira 30 tahun. Dia sudah bekerja sebagai asisten Haji Gajang. Tugasnya adalah memasang lammingatau pakaian pesta perkawinan, atau dipakai juga dalam pesta khitanan. Lana memiliki rekan seprofesi, namanya Wati. Saat bertemu, mereka sedang berkemas untuk berangkat ke Desa Mario, sebuah daerah yang terletak di Galesong Selatan. Rupanya, mereka dipesan untuk memasang lamming atau hiasan dinding rumah atau pelaminan untuk acara yang akan digelar pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Meski nama Wati terkesan lebih feminin, namun kalau dilihat dari penampilannya, Wati lebih maskulin lantaran ia mempertahankan bulu-bulu di dadanya.
Ladang pekerjaan utama Haji Gajang adalah merias pengantin. Haji Gajang telah mempekerjakan Lana dan Wati sejak beberapa tahun yang lalu. Secara khusus, tugas kedua waria ini selain mempersiapkan dan memasang lamming di dalam rumah, juga membawa pakaian khas Makassar, seperti baju bodo, songkok guru, lengkap dengan aksesorisnya. Haji Gajang tidak ingin merinci pendapatannya sebulan, namun ia mengaku cukup puas dan mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.
Haji Gajang mengaku usahanya sudah ia rintis sejak 20 tahun terakhir. Ia melengkapi keahliannya dengan mengikuti berbagai kursus keterampilan sejak 15 tahun terakhir. Profesi Haji Gajang sebagai penata rias sepertinya memang sudah cukup dikenal masyarakat. Ini dilihat dari beberapa foto yang terpampang di dinding ruang dalam rumahnya, di mana beberapa di antaranya adalah foto bersama bupati Takalar dan Gubernur Sulsel sekarang, yang mana pada waktu foto diambil, masih menjabat sebagai Bupati Gowa.
Usaha yang dirintisnya sesekali menemui masalah juga, aku Haji Gajang. Saat sedang melaksanakan tugas, kerap diganggu orang-orang usil. Namun, Haji Gajang menganggapnya biasa saja, dan menekankan pada para pekerjanya agar fokus saja dengan tujuan utama bekerja, yaitu memberi kepuasan kepada klien dan turut menyukseskan acara yang digelar.
Lana dan Waty merasa beruntung diterima bekerja di tempat Haji Gajang. Mereka menikmati masa-masa produktif dengan predikat waria yang tetap mereka sandang. Mereka menyadari bahwa banyak orang tergoda untuk mengganggu karena predikat tersebut, namun mereka memilih untuk tetap sabar karena profesi ini dirasakan mereka lebih terhormat dibanding pekerjaan lainnya.
”Adama’ sepuluh tahun kerja sama Haji Gajang. Saya senang karena dapat uang dengan cara halal,” kata Lana dengan lincah, dalam sebuh pertemuan di tengah pesta di daerah Bayowa, Desa Galesong Baru, Galesong Selatan, Takalar. Dalam pertemuan itu saya tanyakan soal kabar teman-teman warianya yang lain. Lana menunjukkan raut wajah yang muran dan terdiam beberapa saat.
”Eee…, kamma memang minjo kapang punna jai dudu erotta,” ungkapnya dengan gemulai. Artinya, begitulah memang kalau terlalu banyak mau. Mungkin maksudnya, begitulah resikonya jika manusia terlalu besar cita-citanya.
Beberapa tahun lalu, tepatnya sekitar tahun 90-an, beberapa waria meninggal dalam waktu yang berdekatan. Masih sedikit informasi soal kejadian ini, namun setidaknya diketahui bahwa mereka rata-rata bekerja di bidang yang rentan ketularan penyakit ganas.
Membuka ladang pekerjaan baru yang lebih ”sehat” bagi kaum waria seperti yang dilakukan Haji Gajang bisa jadi akan menyelamatkan mereka dari resiko terjangkiti penyakit seksual yang ganas. Dunia mereka tetap menyatu dengan dunia apa adanya, tidak bisa disembunyikan ataupun bersembunyi dan hanya berkutat dengan masalah-masalah kaumnya sendiri. Sosialisasi dan interaksi yang saling menguntungkan berbagai pihak memang sepatutnya dipikirkan. Di samping itu, perlu juga diupayakan agar informasi soal resiko-resiko penyakit seks juga sampai pada kaum waria yang tinggal di daerah terpencil seperti pedesaan.
”Lana, mau tongko pigi Jakarta?” tanya saya, ingin mengetahui apakah Lana masih punya cita-cita mengadu nasib di ibukota sebagaimana beberapa rekannya terdahulu.
”Teaja!” jawabnya dengan genit, yang artinya tidak mau, sambil berlalu dengan gemulai.