adsensense champ

Jumat, Desember 24, 2010

“Ibuku Seorang Pelacur !”

Di sebuah kelas seorang anak perempuan didera kebingungan luar biasa. Jam itu pelajaran mengarang. Ibu guru meminta semua murid menuliskan hal yang sesunggunya sederhana. Tentang nenek, tentang keluarga atau mungkin sosok ibu mereka. Sayangnya sang anak tak punya gambaran apa pun tentang sosok-sosok itu. Tak punya gambaran tentang bagaimana keluarga dan juga kebahagiaan. Ya, ia tak bisa menuliskannya. Ibunya cuma seorang pelacur.
Potongan cerita diatas menjadi pembuka manis sebuah cerpen Seno Gumira Ajidharma, “Pelajaran Mengarang”. Cerpen terbaik Kompas tahun 1993 yang kemudian dibukukan dengan kisah-kisah memukau lainnya dalam kumpulan, “Atas Nama Malam”. Seno seolah menyihir saya ketika membaca kisah-kisah dalam buku ini. Membaca kisahnya kita seperti diantar masuk dalam dunia yang gelap, mungkin muram, sebagian besar tentang kehidupan malam.
Apa jadinya jika seseorang tak mampu menjawab potongan-potongan pertanyaan yang membentuk kehidupannya?1 Tentang asal usul. Tentang keseharian. Seperti si anak yang kebingungan karena ia pun tak mampu menjawab pertanyaan sederhana yang bisa dengan mudah dijawab teman sebayanya. Ia tak sama dengan lainnya, ketika yang lain mengingat rumah dengan taman bunga, ayah yang pulang bekerja dan ibu dengan manisnya merangkai bunga di beranda. Yang di ingat sang anak tentang rumahnya adalah sebuah ruang berantakan dengan botol-botol minuman keras, laki-laki yang selalu mendengkur sampai siang setelah begelut dengan sang ibu lewat lenguhan panjang pendek setiap malamnya. Ia mendengarnya dari kolong ranjang . Laki-laki yang pernah tak sama namun ia tak yakin itu ayahnya atau bukan. Akankah dia menceritakan kisah semacam itu?
Membaca cerpen ini saya selalu berkaca-kaca. Hidup menjadi tak mudah bagi beberapa orang, si Ibu akan dikutuk habis-habisan sebagai sampah, namun apakah itu berarti ia telah kehilangan kasih. Walaupun sang anak setiap saat dimaki dengan sebutan anak jadah dan anak setan berganti-gantian. Namun sang anak tidak merasa ibunya seperti itu. Setiap hari minggu ibunya akan selalu mengajaknya berjalan-jalan. Saat itu ia benar-benar merasa memiliki ibu.Membelikannya es krim, coklat dan mainan. Menatapnya berlama-lama dengan air mata yang hampir tumpah. Dalam kisah ini ada sebuah fragmen mengharukan ketika suatu ketika sang ibu tak pernah henti-hentinya menyeka es krim dari mulut sang putri. Meminta ia berjanji menjadi perempuan baik-baik. Perempuan yang tidak seperti dirinya.
Si ibu sadar bahwa kehidupan yang dijalaninya bukan lah kehidupan yang layak dan ia tak ingin putrinya seperti itu. Yang saya tangkap bahwa dalam kondisi apa pun seorang ibu tetaplah seorang ibu pemilik kasih tak terbatas, bahkan ketika dia adalah seorang pelacur. Cinta itu tetap ada dalam hatinya. Orang mungkin akan menyalahkan kenapa dia memilih jalan ini tapi, “Adakah yang lebih besar dari kehidupan?” jika mungkin ia bisa membela diri.
Cerpen ini mengajarkan saya satu hal. Hidup tidak melulu warna hitam dan putih. Pada yang hitam sekali pun mungkin ada nuansa putih yang membuatnya sedikit menjadi abu-abu betapa pun samarnya. Lebih mudah menjatuhkan vonis ketimbang berempati melihat sebuah kisah dari tempat yang berbeda. Adakah seorang perempuan yang ingin melalui jalan semacam ini. Saya selalu berprasangka baik bahwa bisa jadi itu adalah sebuah keterpaksaan karena hidup kadang-kadang sangat kejam dan tak memberi banyak pilihan.
Pada akhirnya sang anak tidak ingin mengarang . Menuliskan sebuah kisah yang memang tak pernah mampu dibayangkannya. Saya tak bisa membayangkan betapa beratnya beban yang ia tanggung setelah waktu yang diberikan hampir usai dan si anak pun hanya menulis sepotong kalimat saja, “Ibuku seorang pelacur”.
1Sebuah pertanyaan dalam novel Tsotsi, Athol Fugard.
(Sumber Ilustrasi gambar : www.photobucket.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar